Rabu, 15 Desember 2010

Drybox Alternatif

Seiring dengan pertambahan peralatan memotret, mulai terasa penuhnya tas yang biasa saya bawa. Saat ini, secara keseluruhan ada 4 kamera digital (1 DSLR, 2 prosumer, 1 poket), 1 kamera SLR, 6 lensa, 2 flash, ditambah berbagai filter. Yang jelas, tidak semuanya dibawa kalau mau motret. Artinya, harus ada tempat penyimpanan untuk alat-alat yang sedang tidak digunakan.

Drybox atau dry cabinet tentunya merupakan jawaban yang paling logis untuk tempat penyimpanan ini. Tapi tahu sendiri kan, berapa harganya barang itu? Jadi sebagai alternatif, saya pergi ke Ace Hardware untuk membeli:
1 unit storage container plastic with handle
ukuran 28 cm x 40 cm x 28 cm, harga Rp 48.000
1 kitchen tray plastic
ukuran 28 cm x 22 cm x 15 cm, harga Rp 12.000


Untuk menjamin agar di dalam box tersebut tetap kering dan memantau suhunya, saya hubungi seller di sebuah bursa fotografi untuk membeli sepaket perlengkapan senilai Rp 140.000 yang berisi:
1 higrometer
1 termometer
1 kg silica gel biru

Awalnya saya bermaksud membeli silica gel elektrik yang bisa recycle, tapi barangnya tidak tersedia, jadi untuk sementara saya pikir silica gel biru cukuplah. Paket silica gel biru ini datang bersama 50 buah kantong plastik kecil, jadi setiap kantong kecil bisa diisi 20 gr. Kantong kecil yang sudah diisi silica gel harus dilubangi/ ditusuk-tusuk dengan jarum jika akan digunakan. Biasanya setiap kantong saya beri 10 lubang dan saya letakkan 2 atau 3 kantong dalam box. Silica gel harus diganti jika warna biru memudar menjadi merah atau bening.

Untuk pengujian awal, kotak saya bersihkan lalu saya letakkan termometer dan higrometer dan kotak ditutup. Setelah 15 menit, saya tengok kembali dan melihat bahwa temperatur di dalamnya adalah 28 derajat Celcius dengan kelembaban 80%. Masih belum cocok untuk menyimpan lensa-lensa.

Lalu saya letakkan 2 bungkus silica gel, kotak ditutup dan didiamkan selama 2 jam. Setelah saya tengok kembali, ternyata suhu tetap 28 derajat Celcius, tetapi kelembaban turun hingga 50%. sebagaimana tampak pada foto berikut


Sippp, jadilah lensa-lensa mulai saya tata di dalam kotak tersebut. Tray plastik ukuran 28 cm x 22 cm x 15 cm sengaja saya beli sehingga ada ruang khusus untuk menempatkan lensa secara terpisah dari peralatan lain.
Dua jam kemudian, saya cek kembali, ternyata temperatur dan kelembanban menunjukkan angka 28 derajat Celcius dan 40%. Alhamdulillah, jadi aman. Total biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang adalah Rp 200.000. Biar murah, yang penting efektif.

Yang memerlukan paket termometer, higrometer, dan silica gel, bisa klik link ini:
Hygrometer+Thermometer+Silica Gel

Minggu, 12 Desember 2010

Close Up/ Macro Photography: DSLR vs Prosumer

Beberapa rekan tertarik untuk menekuni dunia kecil yang biasa dikenal dengan close-up photography atau lebih populer dengan istilah makro, akan tetapi merasa bahwa alatnya belum mencukupi. Padahal sebetulnya untuk foto-foto close-up, tidak diperlukan peralatan yang terlalu canggih. Kamera poket pun bisa digunakan untuk foto makro, bahkan punya beberapa kaunggulan karena adanya live-view dan DoF yg lebar (baca catatan saya sebelumnya tentang Aperture di kamera DSLR, prosumer dan poket)


Jika foto obyek yang diperoleh dirasa kurang besar, bisa ditambahkan close-up filter. Ada beberapa pilihan untuk tambahan filter ini:
1. Filter high-end sejenis Raynox Supermacro Scan DCR 250 (harga Rp 900rb)
2. Filter close-up Kenko +1, +2, +4 atau sejenisnya (Rp 200-800rb, tergantung ukuran ring)
3. Membuat sendiri (harga bervariasi, tergantung kreativitas)

Pada kesempatan ini saya coba bandingkan hasil foto close-up pada sebuah obyek berukuran 5 mm x 50 mm. Pemotretan dilakukan di dalam ruangan dengan cahaya dari lampu baca ditambah dengan kertas putih sebagai reflektor. Obyek ditempatkan pada sebuah meja kecil seperti ini:

Untuk memberi gambaran ukuran obyek yang sebenarnya, silakan perhatikan foto saat pemotretan dilakukan dengan cara seperti ini:

Hasil yang diperoleh:
1. Kamera prosumer Canon SX 20 IS ditambah filter close-up buatan sendiri

2. Kamera Sony A200 + Tamron 18-200 mm + Raynox DCR 250

Kedua kamera memiliki resolusi tertinggi 10 MP. Kamera prosumer Canon SX20 IS pada dasarnya tidak berbeda dengan poket karena sama-sama menggunakan sensor 1/2.5 in. Kamera Sony A200 adalah DSLR entry level dengan sensor APS-C. Dari kedua foto di atas tampak bahwa tidak ada perbedaan signifikan selama intensitas cahaya cukup.

Filter close-up yang dipasang pada Canon SX 20 IS adalah lensa cembung yang diambil dari sebuah lensa lama dan dipasang pada ring filter 52 mm, sehingga bisa dipasang pada thread lensa kamera. Lensa untuk filter ini, bisa juga menggunakan kaca pembesar atau lup. Jadi jika dinilai harganya mungkin Rp 100rb atau kurang.

Motret makro pakai poket? Siapa takut .... :-)

Kamis, 09 Desember 2010

Pilihan Lensa Vario



Bulan lalu lensa kit Sony DT 18-70 mm yang biasa terpasang di kamera rusak gear motonya, akibatnya setiap digunakan lensa itu berbunyi "rrrrr ...." dan sering ga dapat fokus. Sewaktu dbawa ke service centre, perkiraan biaya perbaikannya adalah Rp 500.000 dengan waktu perbaikan sekitar 2 minggu, yang artinya sama dengan harga lensa kit 2nd. Akan tetapi, mengingat kasus kerusakan gear tersebut cukup sering terjadi pada lensa kit (ada resiko lensa yang baru dibeli nantinya rusak lagi), akhirnya saya memutuskan untuk membeli lensa Minolta 28-80 Macro sebagai pengganti.

Walaupun lensa pengganti ini tidak sepenuhnya "digital design", tetapi saya menyukai adanya petunjuk jarak obyek yang memudahkan kita untuk melakukan focusing secara manual. Selain itu, lensa ini juga dilengkapi dengan fitur macro pada FL 80 mm, memberi hasil yang lebih menarik daripada lensa kit pada FL 70. Namun demikian, pada mode makro focusing harus dilakukan secara manual.


Tidak berselang lama, saya mendapat tawaran lensa sapujagad, yaitu Tamron 18-200 mm Di-II LD XR Aspherical Macro. Dengan memperhitungkan crop factor 1.5x. lensa ini pada dasarnya memiliki range yang seimbang dengan lensa sapujagad Sigma 28-300 mm yang pernah saya pakai bersama kamera Canon EOS 1000 FN (analog) bertahun-tahun yang lalu. Namun demikian, setelah melakukan beberapa kali tes, saya menemukan kelebihan & kekurangan dari setiap lensa yang ada.

Lensa Tamron 18-200 memang unggul dalam range sehingga praktis untuk dibawa dalam berbagai kesempatan. Tapi lensa ini bukannya tanpa kelemahan. Beberapa hal yang saya rasakan:
1. Distorsi di bagian tepi gambar pada posisi wide end (18 mm)
2. Ketajaman yang cenderung soft pada tele-end.
3. Respon yang lebih lambat

Lambatnya respon saat pencarian fokus kelihatannya disebabkan oleh berat lensa tersebut. Oleh karena itu saya tetap mempertahankan kedua lensa Minolta yang sudah saya miliki meskipun focus range-nya sudah tercover oleh si Tammy.

Lebih lengkap mengenai Tamron 18-200mm Di II LD XR Aspherical macro, silakan klik:




Rabu, 10 November 2010

HDR Photography 02

Setelah memperoleh "bahan" untuk diolah dengan teknik HDR, langkah selanjutnya adalah menggunakan software untuk melakukan proses. Beberapa software yang dapat digunakan adalah:
1. Adobe Photoshop (dengan File > Automate > Merge to HDR)
2. Photomatix / Pro
3. Nik Software - HDR Efex Pro
4. Dynamic Photo HDRi
5. dan lain-lain

Pada kesempatan ini saya memakai aplikasi Dynamic Photo HDRi. Bagi Anda yang tertarik untuk mencoba menggunakan software ini, silakan kunjungi: http://dynamic-photo-hdr.en.softonic.com/  untuk mendownload.
Setelah aplikasi ini Anda isntall pada komputer, jalankan sehingga diperoleh tampilan seperti berikut:
Untuk memulai proses pembuatan foto HDR, klik tombol Create HDR file pada kolom kanan paling atas
.
Selanjutnya, klik tombol Add Images di atas kotak paling kiri pada pop-up window dan pilih file yang akan diolah dengan melakukan selection pada 3 file  yang dimaksud, lalu klik Open.

Selanjutnya akan source file dan preview hasil proses akan ditunjukkan pada kotak tengah dan kanan. Untuk melanjutkan proses, Anda dapat melakukan penyesuaian pada preview, atau langsung klik OK

Tahap selanjutnya adalah alignment. Jika Anda menggunakan tripod saat memotret, alignment mungkin tidak diperlukan, Anda tinggal klik tombol Align Files di kolom kanan untuk setiap kombinasi gambar. Jika alignment otomatis tidak berhasil, Anda dapat melakukannya secara manual dengan slider vertical, horisontal dan rotation di kolom kanan bawah.

Setelah proses alignment selesai, klik OK. Anda akan dibawa kembali ke window utama dengan preview file yang dipilih. Selanjutnya klik tombol Tone Map HDR pada kolom sebelah kanan. 

Langkah ini akan memunculkan window baru untuk proses Tone Mapping dan sebuah window lain yang berisi Quick Guide sebagai petunjuk proses tone mapping. Anda dapat mengklik OK untuk menutup Quick Guide atau F1 untuk memunculkannya kembali.

Dynamic Photo HDRI menyediakan beberapa mode Tone Mapping yang dapat dipilih pada kolom kiri atas dan fine tuning dengan beberapa slider di kolom kiri bawah. Mode yang tersedia adalah:
>; Eye Catching
>; Ultra Contrast
>; Smooth Processing
>; Photographic
>; Human Eye
Anda bisa mencobanya satu persatu untuk mengetahui perbedaannya. Perubahan ini dapat dilihat pengaruhnya pada preview di kolom tengah. Setelah menentukan mode HDR, pengaturan lebih detil bisa dilakukan dengan slider di kolom kiri bawah dan kolom kanan.

Jika Anda sudah memperoleh file HDR yang sesuai dengan selera, selanjutnya klik tombol Process di kiri bawah. Pilihannya adalah:
>; Process and Save untuk langsung menyimpan file HDR yang telah selesai
>; Process and Edit untuk melanjutkan editing gambar dengan aplikasi Photo Bee



Selamat berkreasi!


HDR Photography 01

Foto HDR biasanya digunakan pada obyek pemotretan dengan kontras cahaya yang lebar. Misalnya obyek yang berwarna gelap dengan latar belakang langit biru pada siang hari, atau sebaliknya obyek dengan lampu berwarna-warni di malam hari.

Pada obyek seperti ini, perbedaan kontras antara daerah shadow dan highlight menyebabkan hilangnya detil pada salah satu aspek. Metering di daerah shadow akan menyebabkan bagian highlight menjadi overexposed dan menghilangkan sebagian detil. Sebaliknya, metering pada bagian highlight menyebabkan hilangnya detil pada area shadow akibat underexposed.  Oleh karena itu, untuk merekam semua detil dilakukan beberapa kali pemotretan untuk merekam detil dari masing-masing daerah yang kemudian digabungkan dalam 1 (satu) gambar.

Untuk membuat foto HDR, prosesnya terdiri dari proses pengambilan gambar dan proses olah digital. Tulisa ini akan berfokus pada proses pengambilan gambarnya dahulu.

Pengambilan gambar dilakukan dengan menggunakan mode BRACKETING - yaitu mengambil 3 atau lebih foto berturut-turut dengan EXPOSURE VALUE yang berbeda-beda. Mode bracketing ini biasanya berada pada menu drive mode, dan dapat diatur melalui tombol akses atau di dalam menu. Contohnya seperti ini:
Foto: Drive Mode Button pada kamera Kodak C533


Foto: Drive mode Bracketing pada menu Sony A200 dengan EV +0.7


Pemotretan dengan mode bracketing akan menghasilkan 3 gambar atau lebih dengan nilai exposure yang dapat diatur antara (+-)0,3 hingga (+-)2.0, bergantung pada jenis kamera yang digunakan. Contoh hasil foto dengan mode bracketing ditunjukkan pada foto-foto berikut:
Contoh foto dengan mode bracketing, klik gambar untuk tampilan lebih besar

Beberapa tips untuk pemotretan dengan mode bracketing:
1. Pilih obyek dan latar belakang yang memiliki detil
2. Setting kamera:
-- (a) Exposure mode P, A, M
-- (b) WB Auto atau Daylight
-- (c) Metering average, multi segment atau centre weighted
-- (d) Lakukan metering pada midtone
-- (e) Gunakan aperture sempit f/8, f/11 dst
3. Lakukan metering pada midtone
4. Hindari obyek yang bergerak
5. Sebaiknya gunakan tripod atau monopod

Jika sudah diperoleh gambar dengan exposure value yang berbeda seperti di atas, maka selanjutnya adalah proses olah digital.

Senin, 08 November 2010

Kamera Kompak vs Kamera Handphone

Kamera poket digital HP M407 - kamera digital pertama yang saya punya - sempat jatuh dan body-nya berantakan. Setelah dicoba untuk disatukan kembali, kamera ini sebetulnya masih bisa berfungsi tetapi LCD-nya mati total. Untuk memotret masih bisa dipakai karena kamera ini punya optical viewfinder, tapi menunya tidak bisa diakses, kecuali dengan penuh perasaan ... hehehe ...
Tadi malam, masih dalam rangka "nostalgia", kamera kecil ini saya bawa jalan-jalan. Ndilalah, saya terjebak hujan. Jadi sambil menunggu hujan reda, saya coba bandingkan hasil jepretan kamera HP M407 ini dengan hasil dari Nokia N95. Setiap gambar dapat di-klik untuk menampilkan ukuran lebih besar. Berikut perbandingannya:

Data EXIF dari masing-masing foto sebagai berikut:

Crop 100% dari masing-masing foto:

Crop 100% dari setiap kamera menunjukkan bahwa hasil dari Nokia N95 lebih tajam dan menampilkan lebih banyak detil. Hal ini mungkin disebabkan oleh penggunaan lensa Carl Zeiss Tessar 2.8/6 dan shutter speed yang lebih tinggi.

Kesimpulan:
Teknologi fotografi senantiasa berkembang. Bukan hanya DSLR entry level modern yang mampu mengimbangi DSLR profesional, tetapi kamera handphone pun telah melewati apa yang dicapai kamera digital kompak beberapa tahun yang lalu.
Jadi, jangan bepergian tanpa kamera. Walaupun hanya kamera handphone, jangan biarkan momen berlalu tanpa diabadikan :-)

Jumat, 29 Oktober 2010

Masalah Focusing

Sistem auto-focus pada kamera digital kadang-kadang mengalami kesulitan dalam menentukan focus secara tepat. Cahaya yang kurang atau permukaan yang gelap & tidak memantulkan cahaya menyebabkan lensa terus menerus bergerak tanpa dapat menemukan focus yang benar (hunting).
Para pengguna kamera DSLR dapat dengan mudah mengatasi masalah ini dengan memindahkan tombol AF ke MF (manual focus), tapi banyak tipe kamera digital kompak tidak memiliki fitur ini. Berikut beberapa teknik yang mungkin dapat membantu:
(1)    Cari sumber cahaya dengan jarak yang sama
Pada kondisi yang kurang cahaya, kamera akan lebih mudah melakukan focusing pada obyek yang terang. Jadi, jika ada obyek yang memancarkan cahaya pada jarak yang sama, lakukan focusing pada sumber tersebut, tekan setengah shutter dan lakukan rekomposisi menuju obyek yang dimaksud.
(2)    Gunakan laser pointer
Ide menggunakan laser pointer muncul setelah melihat film Expendables dan memperhatikan focusing assist light pada kamera yang memancarkan setitik cahaya berwarna merah. Kamera Sony A200 yang saya gunakan kebetulan tidak memiliki focusing assist light terpisah sehingga untuk focusing di ruang gelap, flash internal harus diaktifkan. Menggantikan flash tersebut dengan sebuah senter LED tidak member hasil yang memuaskan, jadi saya coba dengan laser pointer. Dan BERHASIL! Cahaya merah yang jatuh pada obyek dengan segera dikenali dan direspon oleh system autofocus pada kamera. Jadi, sekarang saya menggunakan gantungan kunci dan membawa ballpoint yang sekaligus berfungsi sebagai laser pointer J

(3)    Letakkan benda lain yang memantulkan cahaya di dekat obyek
Ide ini muncul ketika menyadari bahwa kain pelapis kursi yang saya gunakan membungungkan kamera karena menyerap dan tidak memantulkan cahaya sebagaimana mestinya. 
Saya berhasil memotretnya dengan manual focusing sebagaimana pada foto berikut:
Tetapi rupanya lebih mudah jika saya letakkan benda lain dan melakukan rekomposisi. Perhatikan safety 
glasses warna kuning yang saya letakkan di atas kursi sebagai focusing point. 
Teknik ini bias digunakan secara efektif dengan kamera yang tidak memiliki fasilitas manual focus 

Gunakan aperture sempit

Teknik di atas diperlukan untuk pemotretan obyek diam di ruang dengan cahaya minim. Pada pemotretan di luar ruang yang cukup cahaya dengan obyek yang bergerak, penggunaan bukaan aperture sempit (angka f/ tinggi) merupakan cara yang lebih efektif. Dengan aperture sempit, daerah tajam menjadi cukup lebar sehingga obyek dapat tampil tajam. Jika cahaya cukup, penggunaan shutter speed tinggi akan menghasilkan foto yang lebih bagus lagi.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Mode M Bukan Keharusan

Mode M merupakan salah satu fitur yang hanya terdapat pada kamera DSLR dan kamera kompak high-end. Mode yang ini menyerahkan segala keputusan exposure setting pada fotografer dan sering dianggap sebagai ukuran ketinggian ilmu seorang fotografer. Banyak peminat fotografi yang baru membeli kamera prosumer atau DSLR mengirimkan pesan sejenis ini:
“Mas, kasih tau dong, untuk mode M itu berapa setting yang pas supaya dapat foto yang bagus?”

Terus terang, saya jarang pakai mode M. Buat saya, penggunaan mode M bukanlah suatu keharusan.  Saya lebih menganggapnya sebagai “jurus pamungkas”, jurus yang beresiko tinggi dan tidak perlu digunakan kecuali pada kondisi yang memaksa dan penggunaan mode lain tidak dapat memperoleh hasil yang diharapkan. Penggunaan mode M menuntut fotografer untuk selalu mengevaluasi setting yang dipakai dan ini dapat memecah perhatian.

Sebagaimana ditulis dalam catatan sebelumnya, fotografer sebaiknya berfokus pada 3 hal yang tidak dapat diputuskan oleh kamera, yaitu:
(1)    Momen
(2)    Angle
(3)    Komposisi
Adapun untuk metering dan setting dapat diserahkan pada kamera dengan mengacu pada hasil yang kita harapkan. Misalnya, Anda hendak melakukan panning atau freezing pada obyek yang bergerak. Dalam hal ini setting speed shutter akan menjadi penentu pada foto yang dihasilkan. Jadi, gunakan mode S / Tv dan pilihlah shutter speed yang sesuai, serahkan setting aperture pada kamera.  Dalam kasus lain, setting aperture akan menentukan saat  Anda menghendaki foto landscape yang tajam dari latar depan hingga pegunungan di latar belakang atau justru menghendaki DoF yang sempit pada sesi pemotretan model. Makas gunakan mode A / Av, tentukan setting aperture dan serahkan setting speed pada kamera.

Saya sendiri biasanya menghindari penggunaan mode M karena  “menyimpan” setting yang paling sering dipakai pada mode S dan A.  Mode M baru digunakan pada kondisi pemotretan yang “sulit”, yaitu ketika metering kamera menghasilkan gambar tidak sesuai dengan harapan, misalnya:

(1)    Memotret sunset atau sunrise
Cahaya matahari yang sedang terbit atau terbenam akan memberikan pantulan  warna yang indah di langit. Cahaya ini belum cukup menerangi bumi sehingga sebagian besar daratan akan tetap tampak gelap.
Untuk mengabadikan momen ini, diperlukan shutter speed cepat (1/250 atau lebih tinggi) dan bukaan aperture sempit (f/8 atau f/11 atau lebih tinggi). Ini berlawanan dengan karakter kamera yang akan mengkompensasi bukaan aperture sempit dengan speed rendah, jadi metering tidak dapat diserahkan pada kamera.

(2)    Memotret bulan
Bulan adalah benda yang memantulkan cahaya pada saat langit gelap. Cahaya bulan akan tetap dianggap “kurang kuat” oleh kamera sehingga hasil metering akan menghasilkan speed lambat dan bukaan lebar. Padahal, sesungguhnya bulan bergerak terhadap bumi dan terletak pada jarak yang jauh, sehingga untuk memotretnya harus dilakukan dengan speed tinggi (1/200 atau lebih cepat) dan aperture sempit (f/11 atau lebih tinggi).

Dalam kondisi yang tidak sesuai dengan karakter kamera itulah kita HARUS menggunakan mode M. Tentu masih ada kondisi-kondisi lain yang memerlukan setting khusus yang diperoleh dari pengalaman karena tidak pernah ada 2 fotografer yang menghasilkan foto yang persis sama.
Patokan mudah untuk memperoleh setting mode M:
(1)    Potret dengan mode P
(2)    Review dan putuskan tindakan yang harus diambil (under atau over)
(3)    Putuskan besaran yang akan dipertahankan shutter speed atau aperture
(4)    Pindah ke mode M, pertahankan setting salah satu besaran dan sesuaikan besaran lainnya.

Respon Cepat dengan Priority Setting

Dalam berbagai kesempatan, fotografer perlu bertindak seperti seorang Manajer:
“Delegasikan tugas kepada staf yang berkompeten”

Kamera digital saat ini sesungguhnya merupakan sebuah computer super mini yang memproses pengolahan data cahaya menjadi gambar sesuai dengan “kecerdasan” yang ditanam di dalam sistemnya. Namun demikian ada 3 hal yang tidak dapat diputuskan oleh kamera Anda, yaitu:
(1)    Momen
Kamera Anda dapat melakukan focusing dan metering, namun tidak dapat menentukan “kapan” shutter harus dilepaskan.
(2)    Angle
Perubahan sudut pengambilan gambar akan mengubah arah cahaya dankeseimbangan terang & gelap dan menghasilkan mood  yang berbeda. Ini juga mempengaruhi tampilan subyek yang dapat menimbulkan kesan sederhana, agung atau arogan. Ini tidak ada referensinya dengan program dalam kamera.
(3)    Komposisi
Susunan elemen-elemen merupakan rangkaian pesan yang hendak disampaikan. Ini juga tidak dapat dipahami oleh kecerdasan kamera.

Faktor-faktor itulah yang akan menegaskan pesan, menentukan nilai “rasa” dan “seni” sebuah foto.  Jadi, fokuslah pada ketiga hal di atas dan serahkan pekerjaan lain pada “kecerdasan” kamera Anda, kecuali jika keadaan sedemikian sulitnya, barulah sang Manajer turun tangan menyelesaikan masalah.
Sebagai manajer, Anda bisa menugaskan staf untuk melakukan tugas dengan cara tertentu sehingga target tercapai secara efektif dan efisien. Seorang fotografer dapat memanfaatkan setting yang tersimpan pada beberapa mode untuk memperoleh akses cepat dalam menyesuaikan perbahan kondisi pemotretan. Pada mode priority setting (S/ Tv dan A / Av) kamera akan mengkompensasi perubahan yang dilakukan pada salah satu setting dengan menggerakkan setting lain kea rah berlawanan. Misalnya:

Kondisi awal:  ISO 200, shutter speed 1/125, aperture f/8
Perubahan aperture menjadi f/6.3 akan dikompensasi oleh kamera dengan mengubah shutter speed menjadi 1/200
Perubahan speed menjadi 1/60 akan dikompensasi oleh kamera dengan mengubah aperture menjadi f/11

Dengan pemahaman tabiat kamera seperti di atas, saya terbiasa untuk menyimpan setting shutter priority (S, Tv) pada posisi berlawanan dengan setting  aperture priority (A, Av). Untuk melakukan hal ini, kita dapat mengacu pada konsep BDE (Bright Daylight Exposure), yaitu
ISO 200, speed 1/250, f/16 atau ISO 100, speed 1/125, f/16

BDE ini juga yang menjadi acuan kamera untuk menentukan setting pada mode P dan dikompensasi berdasarkan kondisi pencahayaan saat dilakukan metering. Artinya, dengan sekali melakukan test pada mode P, Anda dapat menentukan setting pada mode S / Tv atau A / Av untuk mempercepat akses.
Misalkan, hasil pemotretan pada mode P menghasilkan setting ISO 100, speed 1/125, f/8 maka saya akan melakukan setting mode S / Tv pada 1/30 dan A / Av pada f/4 atau S/ Tv pada 1/500 dan A / Av pada f/16. Dengan setting ini kita akan memperoleh setting 2 stop dengan hanya sekali memnggerakkan tombol.

Contohnya begini:
Sesi pemotretan:  Balap motor
Lokasi: Outdoor
Light: Ambience
Waktu: 08.00 – 15.00
Kemungkinan pemotretan yang akan terjadi:
1.       Action, memotret motor yang bergerak dengan kecepatan tinggi dan perlu melakukan freezing à dicapai dengan memindahkan mode ke Scene Program Sport
2.       Panning, memotret motor yang bergerak cepat dengan latar belakang motion blurred à dicapai dengan mode S / Tv (shutter priority) pada speed 1/60 atau 1/80
3.       Portrait, untuk memotret para pembalap atau umbrella girl dengan DOF sempit dan latar belakang blurred à dicapai dengan mode A pada aperture lebar. f/4 atau lebih rendah

Tips - Jangan Ketinggalan Momen

Ini pertanyaan yang sering saya baca:
“Saya pengen beli kamera, tapi baru punya uang Rp 1juta. Sebaiknya saya beli kamera poket atau tunggu dulu supaya bias beli prosumer?”
Buat saya, kamera diperlukan untuk mengabadikan momen. Walaupun mungkin tidak puas dengan segala keterbatasan kamera poket tipe point & shoot, tapi momen yang dapat diabadikan jauh lebih berharga. Banyak momen indah yang tak bisa diulang akan terlewatkan tanpa kamera. Jadi, saya akan menyarankan:
“Beli saja kamera sesuai budget yang ada, tapi pilih kamera dengan kualitas & fitur terbaik pada harga tersebut”
Itu sebabnya saya buat catatan tentang kamera-kamera kompak berharga ekonomis.
Jika kamera sudah berada di tangan, tips berikut ini akan  berguna bagi Anda agar tak ketinggalan momen. Beberapa tips berlaku umum, beberapa lainnya diberi catatan khusus untuk pemakai DSLR atau khusus pemakai poket.

1.      Tas atau kantong kamera
Ada berbagai macam disain dan ukuran tas kamera, dari yang model slempang, ransel, dengan banyak variasi ukuran dan ruangan. Yang perlu diperhatikan adalah seberapa cepat Anda dapat menjangkau kamera pada saat diperlukan. Tas model ransel yang berukuran besar memungkinkan Anda membawa banyak perlengkapan, tetapi jika disandang di punggung tentu memerlukan waktu lebih untuk mengambil kamera Anda. Jika sudah berada di lokasi pemotretan, mungkin lebih baik Anda menyandangnya di depan agar kamera lebih mudah dijangkau tanpa perlu menanggalkan tas dari tubuh Anda.

2.      Batere cadangan
Batere merupakan elemen vital dalam kamera digital dan salah satu kesalahan yang paling sering terjadi adalah batere yang habis di tengah sesi pemotretan. Daya tahan batere selain dipengaruhi oleh kapasitas batere, juga dipengaruhi oleh:
(1)     pemakaian flash,
(2)    penggunaan autofocus,
(3)    penggunaan live-view atau review di LCD.
Jadi, meskipun batere Anda sudah discharge full power, tetaplah membawa batere cadangan.

3.       Memory card
Memory card juga merupakan elemen vital dalam fotografi digital. Kapasitas memory card yang jauh lebih besar daripada rol film memungkinkan fotografer memotret dengan leluasa, namun ternyata sering menjadi batu sandungan, terutama untuk fotografer pemula.
Satu sesi pemotretan bias menghasilkan 200-500 frame foto. Kapasitas penyimpanan memory card ditentukan oleh:
(1)    Ukuran resolusi frame (10 MP 6 MP, atau 3 MP, dst)
(2)    Kualitas foto (Fine, Normal, Economy)
(3)    Format file (RAW atau JPEG)
Jadi agar setiap momen terekam dengan baik, pastikan ruang kosong di memory card Anda cukup untuk 500 frame, atau bawa memory card cadangan.
4.       Rencanakan kondisi pemotretan
Perencanaan kondisi pemotretan yang akan dihadapi akan member Anda persiapan lebih baik untuk menyesuaikan berbagai hal. Yang perlu diperhatikan, di antaranya:
(1)    Lokasi: indoor atau outdoor
(2)    Waktu: pagi, siang sore, atau malam. Ini akan berpengaruh pada:
(3)    Lighting: ambience atau artificial
Jika pemotretan dilakukan secara outdoor dengan mengandalkan ambient light, maka Anda juga harus mempersiapkan penyesuaian dengan kondisi cuaca saat sesi berlangsung.

5.       Kamera setting
Setelah memiliki gambaran kondisi pemotretan yang akan berlangsung, maka setting kamera harus disesuaikan. Anda dapat menggunakan scene program yang sudah tersedia atau menggunakan priority setting yang ada agar Anda dapat mengantisipasi setiap keadaan secepat mungkin. Saya sendiri biasanya menghindari penggunaan mode M karena  “menyimpan” setting yang paling sering dipakai pada mode S (Tv) dan A.(Av)
Penggunaan mode M akan mengubah setting yang disimpan di posisi A (Av) dan S (Tv) sehingga memerlukan usaha lebih pada pemotretan berikutnya. Mode M ini biasanya hanya saya gunakan pada kondisi-kondisi khusus yang tidak memungkinkan penggunaan mode lainnya.
Setting lain yang harus dipastikan dan nilai yang biasanya saya gunakan adalah:
ISO – gunakan ISO terendah sesuai kondisi pemotretan
White balance – Auto atau Daylight atau 5500K
Metering – Centr weighted
Shutter release – Continuous
Autofokus – Single

6.       Energy saver
Banyak kamera dilengkapi dengan energy saver yang akan mematikan kamera secara otomatis jika tidak digunakan dalam waktu tertentu. Dalam satu sesi pemotretan, fitur ini kadang menjadi penyebab fotografer tidak sempat menangkap momen karena kameranya terlambat hidup saat start-up. Ini terutama terjadi pada kamera kompak & prosumer.
Jadi, matikan saja fitur energy saver selama sesi pemotretan.

7.       Fokus dan zoom
Pemilihan mode focusing dan zooming akan mempengaruhi kecepatan respon kamera, terutama pada kamera poket yang melakukan zooming dengan motor elektrik. Kecepatan focus juga ditentukan oleh kontras warna antara subyek dengan latar belakang lingkungan di sekitarnya.

8.       Review
Penggunaan live view dan melakukan review pada LCD sering menghabiskan waktu yang menyebabkan terlewatnya momen. LCD viewer hanya cocok untuk melakukan review singkat pencahayaan dan komposisi. Fokuslah pada menangkap momen.

Catatan khusus untuk pengguna DSLR:
1.       Lensa
Penggantian lensa merupakan aktivitas yang cukup memakan waktu. Karena itu pakai lensa yang paling tepat supaya tak banyak momen terlewat akibat penggantian lensa. Lensa juga harus diperiksa dan kalau perlu dibersihkan sebelum dipasang agar diperoleh hasil yang memuaskan.
2.       Penutup lensa
Jangan lupa melepaskan tutup lensa sebelum mulai memotret. Pastikan di mana Anda menyimpan tutup lensanya agar tidak hilang. Anda juga dapat menggunakan penutup bertali agar lensa tidak lepas dari kameranya.
3.       Aksesoris
Aksesoris lain seperti filter dan flash akan sangat berpengaruh pada respon kamera. Penggunaan filter dapat mengkoreksi metering 1-2 f-stop. Penggunaan flash external akan mempercepat respon karena nergy-nya diperoleh dari batere yang terpisah.

Catatan khusus untuk pengguna poket:
1.       Start up time
Startup time adalah waktu yang diperlukan antara kamera dinyalakan dan kamera siap memotret. Startup time pada kamera poket lebih lama daripada DSLR karena kamera melakukan checking  dan  adjustment pada lensa sebelum siap memoitret.  Jika sudah mulai memotret, sebaiknya kamera tetap dalam kondisi menyala dengan mematikan nergy saver. Jika hendak menghemat nergi, Anda bias mematikan LCD (tidak bias dilakukan pada kamera tanpa viewfinder).
2.       Shutter lag
Shutter lag  adalah waktu antara tombol shutter ditekan dan saat kamera merekam gambar. Kamera-kamera baru sudah mampu mengatasi shutter lag ini, tetapi masih tetap harus diperhatikan.
3.       Flash
Flash pada kamera  poket sering menjadi sumber kehilangan momen karena kamera tidak dapat memotret saat flash sedang diisi. Sebisa mungkin, matikan flash agar diperoleh respon yang cepat.

Jumat, 15 Oktober 2010

DSLR vs Prosumer vs Poket - Aperture

Pada tulisan ini saya mencoba menunjukkan pengaruh ukuran sensor terhadap bokeh pada aperture lebar. Kamera yang digunakan dalam tes ini adalah:
- Konica Minolta Z20, ukuran sensor 1/2.5" (sama dengan umumnya kamera poket)
- Fujifilm S6500fd, ukuran sensor /1,6" (ukuran sensor umum kamera prosumer)
- Sony A200, ukuran sensor APS-C (sensor umum DSLR entry level)

Secara umum, untuk memperoleh ruang tajam yang sempit (shallow DoF) harus digunakan bukaan aperture lebar, biasanya ditandai dengan angka yang besarnya kurang dari f/5.6. Bukaan aperture lebar seperti ini bagus untuk menonjolkan PoI tunggal, misalnya model, portrait, still life, dll. Bukaan aperture yang sempit (ditandai dengan angka yang tinggi, misalnya f/8, f/16, f/22, dst) akan memberikan ruang tajam yang luas, cocok untuk landscape dan nature photography.

Kesulitan pada tes ini adalah keterbatasan pilihan setting aperture pada setiap kamera. Oleh karena itu akan digunakan nilai aperture f/3.7 atau f/3.2 pada Konica Minolta Z20 dan Fujifilm S6500fd. Sedangkan untuk Sony A200 akan digunakan aperture f/5.6. Seharusnya, bokeh yang dihasilkan pada f/3.7 akan lebih dominan daripada f/5.6, namun ukuran sensor yang berbeda akan memberikan efek seperti pada hasil berikut:
Hasil crop 100% dari hasil di atas ditunjukkan pada foto berikut:

Tampak jelas bahwa bukaan aperture yang lebih kecil pada sensor yang besar (APS-C) memberikan efek yang lebih jelas pada perubahan DoF. Bahkan pada foto obyek yang hanya berbeda sedikit jaraknya, efek DoF dan perubahan fokus akan nampak jelas, seperti pada foto berikut:
Hasil uji dengan kamera Sony A-200 pada fokus yang berbeda:

Nah, apakah dengan demikian perlu untuk memilih sebuah DSLR agar dapat menghasilkan foto yang bagus?
Menurut saya jawabannya tidak mutlak, karena olah digital dapat membantu untuk memperoleh DoF yang diinginkan. Namun demikian, jika memang anggarann tersedia, kenapa tidak? :-)

Tilt-Shift Photography


Dari foto Zaki Fachrizal Maulana, saya jadi baca-baca tentang Tilt-Shift Photography. Kalau mau, Anda bisa baca juga di Wikipedia Tilt Shift Photography atau di blog tiltshiftphotography.net. Foto Zaki yang memicu pencarian saya bisa dilihat dengan klik di sini
Sebelumnya, saya sudah mengetahui tentang lensa tilt & shift ini dari teman-teman di Teknik Sipil & Arsitektur. Lensa ini dikembangkan untuk memperbaiki perspektif dan mengatasi distorsi dengan cara mengubah sudut lensa terhadap media (film atau sensor). Nikon mulai mengembangkan lensa yang dapat digeser (shift) pada tahun 1960, sedangkan lensa yang bisa digeser dan ditekuk (tilt-shift) dikembangkan oleh Canon pada 1979. Sejak itu Nikon & Canon menyediakan beberapa seri lensa tilt-shift untuk berbagai keperluan. Salah satu efek yang paling nyata dari penggunaan lensa tilt-shift adalah menyempitnya ruang tajam (DoF - Depth of Field)
Dengan perkembangan teknologi digital, dalam batasan tertentu distorsi ini bisa diperbaiki melalui olah digital. Tilt-Shift Photography kemudian berkembang menjadi sebuah seni untuk me-miniaturisasi, membuat foto dari benda-benda nyata tampak seperti model mini dengan memanfaatkan efek penyempitan DoF, menaikkan saturasi dan penyesuaian kurva.
Prosedur pembuatan foto tilt shift adalah sebagai berikut:

1. Pilih foto yang akan dimodifikasi
Sebaiknya foto ini adalah foto yang diambil dari atas (high angle) sehingga memudahkan munculnya kesan miniatur. Foto berikut saya ambil dari dalam pesawat saat akan mendarat:
 Fotonya kurang oke karena terhalang kaca jendela, tetapi bisa diperbaiki dengan melakukan Auto-Level
 Setelah itu supaya aman, saya buat layer duplikat di atas layer asli, sehingga jika diperlukan layer atas bisa dihapus untuk memperoleh gambar awalnya

2. Membatasi area tajam
 Langkah berikutnya adalah memilih ruang tajam dengan menggunakan masking/ marquee seperti pada gambar berikut:

3. Meningkatkan ketajaman
Area dalam ruang tajam ditingkatkan ketajaman dan saturasinya dengan  menaikkan saturasi (Saturation), mengatur ketajaman dengan filter Sharpness (Smart Sharp) dan mengatur kurva warna (Curve)

4. Menata latar
Setelah bagian pokok foto tertata dengan baik, selanjutnya kita menata bagian pendukungnya dengan melakukan Inverse Selection dan memburamkan gambar di bagian ini dengan Filter Lens Blur

Hasil olah digital ini adalah sebagai berikut:

Foto-foto lain yang coba saya olah dengan metode ini dapat dilihat di: Tilt Shift Photos di Multiply

Contoh lain dari hasil browsing:
50 Beautiful Tilt Shift Pics
Achdevon di multiply
tiltshiftmaker photo gallery

Tilt shift photography tutorial:
tiltshiftphotography.net
15june.com

Bacaan lain yang mungkin bermanfaat:
Tilt Shift bukan hanya untuk Arsitek
Tilt Shift lens on your DSLR
Tilt-shift lens changes Your Life
Tilt Shift lens Focusing

Kamis, 07 Oktober 2010

Perbandingan Macro Converters

Catatan: klik pada gambar untuk melihat ukuran lebih besar!

Tujuan penggunaan macro converter adalah untuk memperpendek jarak fokus sehingga kamera dapat memotret obyek yang jaraknya sangat dekat. Sebagaimana disebutkan dalam tulisan sebelumnya, ada 3 alat yang bisa saya gunakan untuk macro converter, yaitu:

  • 0.45x wide // 1.4x macro converter buatan jepang seharga Rp 450.000
  • Lup/ kaca pembesar seharga Rp 7.000 yang dipasang pada tutup spray 
  • Lensa jadul 50 mm f/1.9 (dibeli seharga Rp 100.000, bagian dalamnya saja)
Obyek untuk pemotretan ini adalah selembar halaman koran:


Ada 2 lensa yang saya pakai untuk pengujian ini, yaitu:
  • Sony DT 18-70 mm f/3.5-5.6 SAL, jarak obyek minimal 28 cm (mode makro)
  • Minolta 70-210 mm f/4-5.6, jarak obyek minimal 110 cm
Lensa standar Sony DT 18-70 mm SAL memiliki jarak fokus makro yang cukup dekat, yaitu 38 cm. Hasil foto dengan crop 100% pada jarak tersebut ditunjukkan pada foto berikut:

Macro converter ini saya peroleh dengan harga Rp 450.000, terdiri dari 2 bagian optik yang terpisah, kita harus membalik bagian yang dekat kamera untuk mengubah fungsinya.


Penggunaan 1.4x macro converter memperpendek jarak obyek minimum jadi 20 cm. Pada penggunaan converter ini, fungsi metering & autofokus tetap berfungsi normal. Hasil foto menggunakan macro converter pada crop 100% ditunjukkan pada foto berikut:

Lup atau kaca pembesar yang digunakan sebagai macro converter merupakan alternatif paling murah dan berfungsi cukup efektif untuk memperpendek jarak obyek. Dengan harga Rp 7000. saya tidak ragu2 untuk melepas kaca pembesar dari gagangnya & mengamplas tepinya supaya bisa masuk ke bekas tutup spray.
 Maaf ya, saya gak rapih mengerjakannya, kelihatan masih banyak debu di kacanya ... hehehe ... Yang mengejutkan buat saya adalah bahwa penggunaan lup/ kaca pembesar dapat memperpendek jarak obyek hingga 10 cm. Alat ini juga tidak mengganggu fungsi metering & autofokus. Sayangnya, kualitas optik yang rendah mengurangi ketajaman.

Lensa jadul Yashica 50 mm f/1.9 yang saya gunakan sebagai reversed lens ini bagian luar body-nya sudah rusak, jadi hanya dihargai Rp 100.000. Optiknya masih bagus, walaupun ada bekas jamur (cleaning mark) tapi tidak mengganggu hasil. Untuk memasangnya ke lensa bisa memakai reverse adapter, tapi seperti pada lup, saya pakai tutup spray.
Reversed lens ini dapat menghasilkan foto obyek pada jarak kurang dari 5 cm dengan pembesaran maksimal dan kualitas yang sangat baik. Masalahnya, reversed lens mengurangi intensitas cahaya dan menyebabkan autofokus tidak berfungsi, jadi kita harus sabar menggerakkan kamera maju-mundur untuk memperoleh fokus. Hasilnya dapat dilihat pada foto berikut:

Menakjubkan ya? Kita bisa melihat dengan jelas serat dan pori-pori di permukaan kertas korannya. Tapi tidak berfungsinya autofokus menurut saya cukup merepotkan, apalagi jika kita memotret obyek yang bergerak. Oleh karena itu, pada pengujian dengan lensa 70-210 saya hanya menggunakan lup saja.
Lup converter yang terpasang di depan lensa 70-210 mm ditunjukkan pada gambar berikut:
Yang menarik, penggunaan lup converter ini memperpendek jarak obyek terdekat dari 1,1 m menjadi 30 cm saja. autofokus dan metering pun tetap berfungsi. Dalam foto berikut, saya tampilkan crop 100% (bagian atas) dan keseluruhan frame (bagian bawah) dari botol air kemasan yang dipotret dari jarak 1,1 m tanpa tambahan lup converter.

Sebagai pembanding, foto di bawah adalah crop 100% (bagian atas) dan keseluruhan frame (bagian bawah) setelah ditambahkan lup converter dari obyek yang sama pada jarak 30 cm

Kesimpulan akhir kami serahkan pada pembaca masing-masing :-)