Jumat, 29 Oktober 2010

Masalah Focusing

Sistem auto-focus pada kamera digital kadang-kadang mengalami kesulitan dalam menentukan focus secara tepat. Cahaya yang kurang atau permukaan yang gelap & tidak memantulkan cahaya menyebabkan lensa terus menerus bergerak tanpa dapat menemukan focus yang benar (hunting).
Para pengguna kamera DSLR dapat dengan mudah mengatasi masalah ini dengan memindahkan tombol AF ke MF (manual focus), tapi banyak tipe kamera digital kompak tidak memiliki fitur ini. Berikut beberapa teknik yang mungkin dapat membantu:
(1)    Cari sumber cahaya dengan jarak yang sama
Pada kondisi yang kurang cahaya, kamera akan lebih mudah melakukan focusing pada obyek yang terang. Jadi, jika ada obyek yang memancarkan cahaya pada jarak yang sama, lakukan focusing pada sumber tersebut, tekan setengah shutter dan lakukan rekomposisi menuju obyek yang dimaksud.
(2)    Gunakan laser pointer
Ide menggunakan laser pointer muncul setelah melihat film Expendables dan memperhatikan focusing assist light pada kamera yang memancarkan setitik cahaya berwarna merah. Kamera Sony A200 yang saya gunakan kebetulan tidak memiliki focusing assist light terpisah sehingga untuk focusing di ruang gelap, flash internal harus diaktifkan. Menggantikan flash tersebut dengan sebuah senter LED tidak member hasil yang memuaskan, jadi saya coba dengan laser pointer. Dan BERHASIL! Cahaya merah yang jatuh pada obyek dengan segera dikenali dan direspon oleh system autofocus pada kamera. Jadi, sekarang saya menggunakan gantungan kunci dan membawa ballpoint yang sekaligus berfungsi sebagai laser pointer J

(3)    Letakkan benda lain yang memantulkan cahaya di dekat obyek
Ide ini muncul ketika menyadari bahwa kain pelapis kursi yang saya gunakan membungungkan kamera karena menyerap dan tidak memantulkan cahaya sebagaimana mestinya. 
Saya berhasil memotretnya dengan manual focusing sebagaimana pada foto berikut:
Tetapi rupanya lebih mudah jika saya letakkan benda lain dan melakukan rekomposisi. Perhatikan safety 
glasses warna kuning yang saya letakkan di atas kursi sebagai focusing point. 
Teknik ini bias digunakan secara efektif dengan kamera yang tidak memiliki fasilitas manual focus 

Gunakan aperture sempit

Teknik di atas diperlukan untuk pemotretan obyek diam di ruang dengan cahaya minim. Pada pemotretan di luar ruang yang cukup cahaya dengan obyek yang bergerak, penggunaan bukaan aperture sempit (angka f/ tinggi) merupakan cara yang lebih efektif. Dengan aperture sempit, daerah tajam menjadi cukup lebar sehingga obyek dapat tampil tajam. Jika cahaya cukup, penggunaan shutter speed tinggi akan menghasilkan foto yang lebih bagus lagi.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Mode M Bukan Keharusan

Mode M merupakan salah satu fitur yang hanya terdapat pada kamera DSLR dan kamera kompak high-end. Mode yang ini menyerahkan segala keputusan exposure setting pada fotografer dan sering dianggap sebagai ukuran ketinggian ilmu seorang fotografer. Banyak peminat fotografi yang baru membeli kamera prosumer atau DSLR mengirimkan pesan sejenis ini:
“Mas, kasih tau dong, untuk mode M itu berapa setting yang pas supaya dapat foto yang bagus?”

Terus terang, saya jarang pakai mode M. Buat saya, penggunaan mode M bukanlah suatu keharusan.  Saya lebih menganggapnya sebagai “jurus pamungkas”, jurus yang beresiko tinggi dan tidak perlu digunakan kecuali pada kondisi yang memaksa dan penggunaan mode lain tidak dapat memperoleh hasil yang diharapkan. Penggunaan mode M menuntut fotografer untuk selalu mengevaluasi setting yang dipakai dan ini dapat memecah perhatian.

Sebagaimana ditulis dalam catatan sebelumnya, fotografer sebaiknya berfokus pada 3 hal yang tidak dapat diputuskan oleh kamera, yaitu:
(1)    Momen
(2)    Angle
(3)    Komposisi
Adapun untuk metering dan setting dapat diserahkan pada kamera dengan mengacu pada hasil yang kita harapkan. Misalnya, Anda hendak melakukan panning atau freezing pada obyek yang bergerak. Dalam hal ini setting speed shutter akan menjadi penentu pada foto yang dihasilkan. Jadi, gunakan mode S / Tv dan pilihlah shutter speed yang sesuai, serahkan setting aperture pada kamera.  Dalam kasus lain, setting aperture akan menentukan saat  Anda menghendaki foto landscape yang tajam dari latar depan hingga pegunungan di latar belakang atau justru menghendaki DoF yang sempit pada sesi pemotretan model. Makas gunakan mode A / Av, tentukan setting aperture dan serahkan setting speed pada kamera.

Saya sendiri biasanya menghindari penggunaan mode M karena  “menyimpan” setting yang paling sering dipakai pada mode S dan A.  Mode M baru digunakan pada kondisi pemotretan yang “sulit”, yaitu ketika metering kamera menghasilkan gambar tidak sesuai dengan harapan, misalnya:

(1)    Memotret sunset atau sunrise
Cahaya matahari yang sedang terbit atau terbenam akan memberikan pantulan  warna yang indah di langit. Cahaya ini belum cukup menerangi bumi sehingga sebagian besar daratan akan tetap tampak gelap.
Untuk mengabadikan momen ini, diperlukan shutter speed cepat (1/250 atau lebih tinggi) dan bukaan aperture sempit (f/8 atau f/11 atau lebih tinggi). Ini berlawanan dengan karakter kamera yang akan mengkompensasi bukaan aperture sempit dengan speed rendah, jadi metering tidak dapat diserahkan pada kamera.

(2)    Memotret bulan
Bulan adalah benda yang memantulkan cahaya pada saat langit gelap. Cahaya bulan akan tetap dianggap “kurang kuat” oleh kamera sehingga hasil metering akan menghasilkan speed lambat dan bukaan lebar. Padahal, sesungguhnya bulan bergerak terhadap bumi dan terletak pada jarak yang jauh, sehingga untuk memotretnya harus dilakukan dengan speed tinggi (1/200 atau lebih cepat) dan aperture sempit (f/11 atau lebih tinggi).

Dalam kondisi yang tidak sesuai dengan karakter kamera itulah kita HARUS menggunakan mode M. Tentu masih ada kondisi-kondisi lain yang memerlukan setting khusus yang diperoleh dari pengalaman karena tidak pernah ada 2 fotografer yang menghasilkan foto yang persis sama.
Patokan mudah untuk memperoleh setting mode M:
(1)    Potret dengan mode P
(2)    Review dan putuskan tindakan yang harus diambil (under atau over)
(3)    Putuskan besaran yang akan dipertahankan shutter speed atau aperture
(4)    Pindah ke mode M, pertahankan setting salah satu besaran dan sesuaikan besaran lainnya.

Respon Cepat dengan Priority Setting

Dalam berbagai kesempatan, fotografer perlu bertindak seperti seorang Manajer:
“Delegasikan tugas kepada staf yang berkompeten”

Kamera digital saat ini sesungguhnya merupakan sebuah computer super mini yang memproses pengolahan data cahaya menjadi gambar sesuai dengan “kecerdasan” yang ditanam di dalam sistemnya. Namun demikian ada 3 hal yang tidak dapat diputuskan oleh kamera Anda, yaitu:
(1)    Momen
Kamera Anda dapat melakukan focusing dan metering, namun tidak dapat menentukan “kapan” shutter harus dilepaskan.
(2)    Angle
Perubahan sudut pengambilan gambar akan mengubah arah cahaya dankeseimbangan terang & gelap dan menghasilkan mood  yang berbeda. Ini juga mempengaruhi tampilan subyek yang dapat menimbulkan kesan sederhana, agung atau arogan. Ini tidak ada referensinya dengan program dalam kamera.
(3)    Komposisi
Susunan elemen-elemen merupakan rangkaian pesan yang hendak disampaikan. Ini juga tidak dapat dipahami oleh kecerdasan kamera.

Faktor-faktor itulah yang akan menegaskan pesan, menentukan nilai “rasa” dan “seni” sebuah foto.  Jadi, fokuslah pada ketiga hal di atas dan serahkan pekerjaan lain pada “kecerdasan” kamera Anda, kecuali jika keadaan sedemikian sulitnya, barulah sang Manajer turun tangan menyelesaikan masalah.
Sebagai manajer, Anda bisa menugaskan staf untuk melakukan tugas dengan cara tertentu sehingga target tercapai secara efektif dan efisien. Seorang fotografer dapat memanfaatkan setting yang tersimpan pada beberapa mode untuk memperoleh akses cepat dalam menyesuaikan perbahan kondisi pemotretan. Pada mode priority setting (S/ Tv dan A / Av) kamera akan mengkompensasi perubahan yang dilakukan pada salah satu setting dengan menggerakkan setting lain kea rah berlawanan. Misalnya:

Kondisi awal:  ISO 200, shutter speed 1/125, aperture f/8
Perubahan aperture menjadi f/6.3 akan dikompensasi oleh kamera dengan mengubah shutter speed menjadi 1/200
Perubahan speed menjadi 1/60 akan dikompensasi oleh kamera dengan mengubah aperture menjadi f/11

Dengan pemahaman tabiat kamera seperti di atas, saya terbiasa untuk menyimpan setting shutter priority (S, Tv) pada posisi berlawanan dengan setting  aperture priority (A, Av). Untuk melakukan hal ini, kita dapat mengacu pada konsep BDE (Bright Daylight Exposure), yaitu
ISO 200, speed 1/250, f/16 atau ISO 100, speed 1/125, f/16

BDE ini juga yang menjadi acuan kamera untuk menentukan setting pada mode P dan dikompensasi berdasarkan kondisi pencahayaan saat dilakukan metering. Artinya, dengan sekali melakukan test pada mode P, Anda dapat menentukan setting pada mode S / Tv atau A / Av untuk mempercepat akses.
Misalkan, hasil pemotretan pada mode P menghasilkan setting ISO 100, speed 1/125, f/8 maka saya akan melakukan setting mode S / Tv pada 1/30 dan A / Av pada f/4 atau S/ Tv pada 1/500 dan A / Av pada f/16. Dengan setting ini kita akan memperoleh setting 2 stop dengan hanya sekali memnggerakkan tombol.

Contohnya begini:
Sesi pemotretan:  Balap motor
Lokasi: Outdoor
Light: Ambience
Waktu: 08.00 – 15.00
Kemungkinan pemotretan yang akan terjadi:
1.       Action, memotret motor yang bergerak dengan kecepatan tinggi dan perlu melakukan freezing à dicapai dengan memindahkan mode ke Scene Program Sport
2.       Panning, memotret motor yang bergerak cepat dengan latar belakang motion blurred à dicapai dengan mode S / Tv (shutter priority) pada speed 1/60 atau 1/80
3.       Portrait, untuk memotret para pembalap atau umbrella girl dengan DOF sempit dan latar belakang blurred à dicapai dengan mode A pada aperture lebar. f/4 atau lebih rendah

Tips - Jangan Ketinggalan Momen

Ini pertanyaan yang sering saya baca:
“Saya pengen beli kamera, tapi baru punya uang Rp 1juta. Sebaiknya saya beli kamera poket atau tunggu dulu supaya bias beli prosumer?”
Buat saya, kamera diperlukan untuk mengabadikan momen. Walaupun mungkin tidak puas dengan segala keterbatasan kamera poket tipe point & shoot, tapi momen yang dapat diabadikan jauh lebih berharga. Banyak momen indah yang tak bisa diulang akan terlewatkan tanpa kamera. Jadi, saya akan menyarankan:
“Beli saja kamera sesuai budget yang ada, tapi pilih kamera dengan kualitas & fitur terbaik pada harga tersebut”
Itu sebabnya saya buat catatan tentang kamera-kamera kompak berharga ekonomis.
Jika kamera sudah berada di tangan, tips berikut ini akan  berguna bagi Anda agar tak ketinggalan momen. Beberapa tips berlaku umum, beberapa lainnya diberi catatan khusus untuk pemakai DSLR atau khusus pemakai poket.

1.      Tas atau kantong kamera
Ada berbagai macam disain dan ukuran tas kamera, dari yang model slempang, ransel, dengan banyak variasi ukuran dan ruangan. Yang perlu diperhatikan adalah seberapa cepat Anda dapat menjangkau kamera pada saat diperlukan. Tas model ransel yang berukuran besar memungkinkan Anda membawa banyak perlengkapan, tetapi jika disandang di punggung tentu memerlukan waktu lebih untuk mengambil kamera Anda. Jika sudah berada di lokasi pemotretan, mungkin lebih baik Anda menyandangnya di depan agar kamera lebih mudah dijangkau tanpa perlu menanggalkan tas dari tubuh Anda.

2.      Batere cadangan
Batere merupakan elemen vital dalam kamera digital dan salah satu kesalahan yang paling sering terjadi adalah batere yang habis di tengah sesi pemotretan. Daya tahan batere selain dipengaruhi oleh kapasitas batere, juga dipengaruhi oleh:
(1)     pemakaian flash,
(2)    penggunaan autofocus,
(3)    penggunaan live-view atau review di LCD.
Jadi, meskipun batere Anda sudah discharge full power, tetaplah membawa batere cadangan.

3.       Memory card
Memory card juga merupakan elemen vital dalam fotografi digital. Kapasitas memory card yang jauh lebih besar daripada rol film memungkinkan fotografer memotret dengan leluasa, namun ternyata sering menjadi batu sandungan, terutama untuk fotografer pemula.
Satu sesi pemotretan bias menghasilkan 200-500 frame foto. Kapasitas penyimpanan memory card ditentukan oleh:
(1)    Ukuran resolusi frame (10 MP 6 MP, atau 3 MP, dst)
(2)    Kualitas foto (Fine, Normal, Economy)
(3)    Format file (RAW atau JPEG)
Jadi agar setiap momen terekam dengan baik, pastikan ruang kosong di memory card Anda cukup untuk 500 frame, atau bawa memory card cadangan.
4.       Rencanakan kondisi pemotretan
Perencanaan kondisi pemotretan yang akan dihadapi akan member Anda persiapan lebih baik untuk menyesuaikan berbagai hal. Yang perlu diperhatikan, di antaranya:
(1)    Lokasi: indoor atau outdoor
(2)    Waktu: pagi, siang sore, atau malam. Ini akan berpengaruh pada:
(3)    Lighting: ambience atau artificial
Jika pemotretan dilakukan secara outdoor dengan mengandalkan ambient light, maka Anda juga harus mempersiapkan penyesuaian dengan kondisi cuaca saat sesi berlangsung.

5.       Kamera setting
Setelah memiliki gambaran kondisi pemotretan yang akan berlangsung, maka setting kamera harus disesuaikan. Anda dapat menggunakan scene program yang sudah tersedia atau menggunakan priority setting yang ada agar Anda dapat mengantisipasi setiap keadaan secepat mungkin. Saya sendiri biasanya menghindari penggunaan mode M karena  “menyimpan” setting yang paling sering dipakai pada mode S (Tv) dan A.(Av)
Penggunaan mode M akan mengubah setting yang disimpan di posisi A (Av) dan S (Tv) sehingga memerlukan usaha lebih pada pemotretan berikutnya. Mode M ini biasanya hanya saya gunakan pada kondisi-kondisi khusus yang tidak memungkinkan penggunaan mode lainnya.
Setting lain yang harus dipastikan dan nilai yang biasanya saya gunakan adalah:
ISO – gunakan ISO terendah sesuai kondisi pemotretan
White balance – Auto atau Daylight atau 5500K
Metering – Centr weighted
Shutter release – Continuous
Autofokus – Single

6.       Energy saver
Banyak kamera dilengkapi dengan energy saver yang akan mematikan kamera secara otomatis jika tidak digunakan dalam waktu tertentu. Dalam satu sesi pemotretan, fitur ini kadang menjadi penyebab fotografer tidak sempat menangkap momen karena kameranya terlambat hidup saat start-up. Ini terutama terjadi pada kamera kompak & prosumer.
Jadi, matikan saja fitur energy saver selama sesi pemotretan.

7.       Fokus dan zoom
Pemilihan mode focusing dan zooming akan mempengaruhi kecepatan respon kamera, terutama pada kamera poket yang melakukan zooming dengan motor elektrik. Kecepatan focus juga ditentukan oleh kontras warna antara subyek dengan latar belakang lingkungan di sekitarnya.

8.       Review
Penggunaan live view dan melakukan review pada LCD sering menghabiskan waktu yang menyebabkan terlewatnya momen. LCD viewer hanya cocok untuk melakukan review singkat pencahayaan dan komposisi. Fokuslah pada menangkap momen.

Catatan khusus untuk pengguna DSLR:
1.       Lensa
Penggantian lensa merupakan aktivitas yang cukup memakan waktu. Karena itu pakai lensa yang paling tepat supaya tak banyak momen terlewat akibat penggantian lensa. Lensa juga harus diperiksa dan kalau perlu dibersihkan sebelum dipasang agar diperoleh hasil yang memuaskan.
2.       Penutup lensa
Jangan lupa melepaskan tutup lensa sebelum mulai memotret. Pastikan di mana Anda menyimpan tutup lensanya agar tidak hilang. Anda juga dapat menggunakan penutup bertali agar lensa tidak lepas dari kameranya.
3.       Aksesoris
Aksesoris lain seperti filter dan flash akan sangat berpengaruh pada respon kamera. Penggunaan filter dapat mengkoreksi metering 1-2 f-stop. Penggunaan flash external akan mempercepat respon karena nergy-nya diperoleh dari batere yang terpisah.

Catatan khusus untuk pengguna poket:
1.       Start up time
Startup time adalah waktu yang diperlukan antara kamera dinyalakan dan kamera siap memotret. Startup time pada kamera poket lebih lama daripada DSLR karena kamera melakukan checking  dan  adjustment pada lensa sebelum siap memoitret.  Jika sudah mulai memotret, sebaiknya kamera tetap dalam kondisi menyala dengan mematikan nergy saver. Jika hendak menghemat nergi, Anda bias mematikan LCD (tidak bias dilakukan pada kamera tanpa viewfinder).
2.       Shutter lag
Shutter lag  adalah waktu antara tombol shutter ditekan dan saat kamera merekam gambar. Kamera-kamera baru sudah mampu mengatasi shutter lag ini, tetapi masih tetap harus diperhatikan.
3.       Flash
Flash pada kamera  poket sering menjadi sumber kehilangan momen karena kamera tidak dapat memotret saat flash sedang diisi. Sebisa mungkin, matikan flash agar diperoleh respon yang cepat.

Jumat, 15 Oktober 2010

DSLR vs Prosumer vs Poket - Aperture

Pada tulisan ini saya mencoba menunjukkan pengaruh ukuran sensor terhadap bokeh pada aperture lebar. Kamera yang digunakan dalam tes ini adalah:
- Konica Minolta Z20, ukuran sensor 1/2.5" (sama dengan umumnya kamera poket)
- Fujifilm S6500fd, ukuran sensor /1,6" (ukuran sensor umum kamera prosumer)
- Sony A200, ukuran sensor APS-C (sensor umum DSLR entry level)

Secara umum, untuk memperoleh ruang tajam yang sempit (shallow DoF) harus digunakan bukaan aperture lebar, biasanya ditandai dengan angka yang besarnya kurang dari f/5.6. Bukaan aperture lebar seperti ini bagus untuk menonjolkan PoI tunggal, misalnya model, portrait, still life, dll. Bukaan aperture yang sempit (ditandai dengan angka yang tinggi, misalnya f/8, f/16, f/22, dst) akan memberikan ruang tajam yang luas, cocok untuk landscape dan nature photography.

Kesulitan pada tes ini adalah keterbatasan pilihan setting aperture pada setiap kamera. Oleh karena itu akan digunakan nilai aperture f/3.7 atau f/3.2 pada Konica Minolta Z20 dan Fujifilm S6500fd. Sedangkan untuk Sony A200 akan digunakan aperture f/5.6. Seharusnya, bokeh yang dihasilkan pada f/3.7 akan lebih dominan daripada f/5.6, namun ukuran sensor yang berbeda akan memberikan efek seperti pada hasil berikut:
Hasil crop 100% dari hasil di atas ditunjukkan pada foto berikut:

Tampak jelas bahwa bukaan aperture yang lebih kecil pada sensor yang besar (APS-C) memberikan efek yang lebih jelas pada perubahan DoF. Bahkan pada foto obyek yang hanya berbeda sedikit jaraknya, efek DoF dan perubahan fokus akan nampak jelas, seperti pada foto berikut:
Hasil uji dengan kamera Sony A-200 pada fokus yang berbeda:

Nah, apakah dengan demikian perlu untuk memilih sebuah DSLR agar dapat menghasilkan foto yang bagus?
Menurut saya jawabannya tidak mutlak, karena olah digital dapat membantu untuk memperoleh DoF yang diinginkan. Namun demikian, jika memang anggarann tersedia, kenapa tidak? :-)

Tilt-Shift Photography


Dari foto Zaki Fachrizal Maulana, saya jadi baca-baca tentang Tilt-Shift Photography. Kalau mau, Anda bisa baca juga di Wikipedia Tilt Shift Photography atau di blog tiltshiftphotography.net. Foto Zaki yang memicu pencarian saya bisa dilihat dengan klik di sini
Sebelumnya, saya sudah mengetahui tentang lensa tilt & shift ini dari teman-teman di Teknik Sipil & Arsitektur. Lensa ini dikembangkan untuk memperbaiki perspektif dan mengatasi distorsi dengan cara mengubah sudut lensa terhadap media (film atau sensor). Nikon mulai mengembangkan lensa yang dapat digeser (shift) pada tahun 1960, sedangkan lensa yang bisa digeser dan ditekuk (tilt-shift) dikembangkan oleh Canon pada 1979. Sejak itu Nikon & Canon menyediakan beberapa seri lensa tilt-shift untuk berbagai keperluan. Salah satu efek yang paling nyata dari penggunaan lensa tilt-shift adalah menyempitnya ruang tajam (DoF - Depth of Field)
Dengan perkembangan teknologi digital, dalam batasan tertentu distorsi ini bisa diperbaiki melalui olah digital. Tilt-Shift Photography kemudian berkembang menjadi sebuah seni untuk me-miniaturisasi, membuat foto dari benda-benda nyata tampak seperti model mini dengan memanfaatkan efek penyempitan DoF, menaikkan saturasi dan penyesuaian kurva.
Prosedur pembuatan foto tilt shift adalah sebagai berikut:

1. Pilih foto yang akan dimodifikasi
Sebaiknya foto ini adalah foto yang diambil dari atas (high angle) sehingga memudahkan munculnya kesan miniatur. Foto berikut saya ambil dari dalam pesawat saat akan mendarat:
 Fotonya kurang oke karena terhalang kaca jendela, tetapi bisa diperbaiki dengan melakukan Auto-Level
 Setelah itu supaya aman, saya buat layer duplikat di atas layer asli, sehingga jika diperlukan layer atas bisa dihapus untuk memperoleh gambar awalnya

2. Membatasi area tajam
 Langkah berikutnya adalah memilih ruang tajam dengan menggunakan masking/ marquee seperti pada gambar berikut:

3. Meningkatkan ketajaman
Area dalam ruang tajam ditingkatkan ketajaman dan saturasinya dengan  menaikkan saturasi (Saturation), mengatur ketajaman dengan filter Sharpness (Smart Sharp) dan mengatur kurva warna (Curve)

4. Menata latar
Setelah bagian pokok foto tertata dengan baik, selanjutnya kita menata bagian pendukungnya dengan melakukan Inverse Selection dan memburamkan gambar di bagian ini dengan Filter Lens Blur

Hasil olah digital ini adalah sebagai berikut:

Foto-foto lain yang coba saya olah dengan metode ini dapat dilihat di: Tilt Shift Photos di Multiply

Contoh lain dari hasil browsing:
50 Beautiful Tilt Shift Pics
Achdevon di multiply
tiltshiftmaker photo gallery

Tilt shift photography tutorial:
tiltshiftphotography.net
15june.com

Bacaan lain yang mungkin bermanfaat:
Tilt Shift bukan hanya untuk Arsitek
Tilt Shift lens on your DSLR
Tilt-shift lens changes Your Life
Tilt Shift lens Focusing

Kamis, 07 Oktober 2010

Perbandingan Macro Converters

Catatan: klik pada gambar untuk melihat ukuran lebih besar!

Tujuan penggunaan macro converter adalah untuk memperpendek jarak fokus sehingga kamera dapat memotret obyek yang jaraknya sangat dekat. Sebagaimana disebutkan dalam tulisan sebelumnya, ada 3 alat yang bisa saya gunakan untuk macro converter, yaitu:

  • 0.45x wide // 1.4x macro converter buatan jepang seharga Rp 450.000
  • Lup/ kaca pembesar seharga Rp 7.000 yang dipasang pada tutup spray 
  • Lensa jadul 50 mm f/1.9 (dibeli seharga Rp 100.000, bagian dalamnya saja)
Obyek untuk pemotretan ini adalah selembar halaman koran:


Ada 2 lensa yang saya pakai untuk pengujian ini, yaitu:
  • Sony DT 18-70 mm f/3.5-5.6 SAL, jarak obyek minimal 28 cm (mode makro)
  • Minolta 70-210 mm f/4-5.6, jarak obyek minimal 110 cm
Lensa standar Sony DT 18-70 mm SAL memiliki jarak fokus makro yang cukup dekat, yaitu 38 cm. Hasil foto dengan crop 100% pada jarak tersebut ditunjukkan pada foto berikut:

Macro converter ini saya peroleh dengan harga Rp 450.000, terdiri dari 2 bagian optik yang terpisah, kita harus membalik bagian yang dekat kamera untuk mengubah fungsinya.


Penggunaan 1.4x macro converter memperpendek jarak obyek minimum jadi 20 cm. Pada penggunaan converter ini, fungsi metering & autofokus tetap berfungsi normal. Hasil foto menggunakan macro converter pada crop 100% ditunjukkan pada foto berikut:

Lup atau kaca pembesar yang digunakan sebagai macro converter merupakan alternatif paling murah dan berfungsi cukup efektif untuk memperpendek jarak obyek. Dengan harga Rp 7000. saya tidak ragu2 untuk melepas kaca pembesar dari gagangnya & mengamplas tepinya supaya bisa masuk ke bekas tutup spray.
 Maaf ya, saya gak rapih mengerjakannya, kelihatan masih banyak debu di kacanya ... hehehe ... Yang mengejutkan buat saya adalah bahwa penggunaan lup/ kaca pembesar dapat memperpendek jarak obyek hingga 10 cm. Alat ini juga tidak mengganggu fungsi metering & autofokus. Sayangnya, kualitas optik yang rendah mengurangi ketajaman.

Lensa jadul Yashica 50 mm f/1.9 yang saya gunakan sebagai reversed lens ini bagian luar body-nya sudah rusak, jadi hanya dihargai Rp 100.000. Optiknya masih bagus, walaupun ada bekas jamur (cleaning mark) tapi tidak mengganggu hasil. Untuk memasangnya ke lensa bisa memakai reverse adapter, tapi seperti pada lup, saya pakai tutup spray.
Reversed lens ini dapat menghasilkan foto obyek pada jarak kurang dari 5 cm dengan pembesaran maksimal dan kualitas yang sangat baik. Masalahnya, reversed lens mengurangi intensitas cahaya dan menyebabkan autofokus tidak berfungsi, jadi kita harus sabar menggerakkan kamera maju-mundur untuk memperoleh fokus. Hasilnya dapat dilihat pada foto berikut:

Menakjubkan ya? Kita bisa melihat dengan jelas serat dan pori-pori di permukaan kertas korannya. Tapi tidak berfungsinya autofokus menurut saya cukup merepotkan, apalagi jika kita memotret obyek yang bergerak. Oleh karena itu, pada pengujian dengan lensa 70-210 saya hanya menggunakan lup saja.
Lup converter yang terpasang di depan lensa 70-210 mm ditunjukkan pada gambar berikut:
Yang menarik, penggunaan lup converter ini memperpendek jarak obyek terdekat dari 1,1 m menjadi 30 cm saja. autofokus dan metering pun tetap berfungsi. Dalam foto berikut, saya tampilkan crop 100% (bagian atas) dan keseluruhan frame (bagian bawah) dari botol air kemasan yang dipotret dari jarak 1,1 m tanpa tambahan lup converter.

Sebagai pembanding, foto di bawah adalah crop 100% (bagian atas) dan keseluruhan frame (bagian bawah) setelah ditambahkan lup converter dari obyek yang sama pada jarak 30 cm

Kesimpulan akhir kami serahkan pada pembaca masing-masing :-)

Rabu, 06 Oktober 2010

Macro Tools

Foto-foto dari rekan-rekan di facebook - thanks untuk Iwel, Santo Goofy, Adrianto Raharjo, Qee, dkk - bikin saya kangen motret makro. Kebetulan ada beberapa alat yang bisa dijadikan macro converter, di antaranya:
  • lensa jadul 50 mm f/1.9 untuk reversed lens
  • kaca pembesar/ lup untuk converter murah-meriah
  • 0.45x wide// 1.4x macro converter buatan Jepang 

Problemnya, tambahan panjang macro converter di depan lensa menyebabkan timbulnya bayangan jika digunakan flash seperti ini:

saya jadi ingat pengalaman bersama master Adrianus Juniarno waktu motret di Dago Pakar. Kita mesti membuat alat untuk "mengarahkan" dan :menyebarkan" cahaya flash (selanjutnya saya tulis difuser) untuk hasil terbaik.Dengan peralatan berupa gunting, penggaris, pensil dan lem, saya membuat difuser dari bahan seadanya, yaitu:
  • karton bekas kotak hardisk bagian luar
  • kertas foto untuk pelapis dan pemantul (reflektor) di bagian dalam
  • kertas tisu atau kertas kalkir untuk peredam cahaya di depan
  • isolasi sebagai pelapis luar 
  • lakban untuk "menempelkan" difuser ke body kamera 
Panjang difuser disesuaikan dengan panjang total lensa dengan converter terpasang. Difuser cepat jadi ini bentuknya ga terlalu rapih. Maaf ya ...
 Dalam kondisi terpasang, bentuknya jadi begini:


Hasil pemotretan dengan menggunakan macro converter dan diffuser:
Selanjutnya akan kita bandingkan, alat mana yang lebih nyaman digunakan untuk memotret macro.  :-)

Penjaga Kamera

Karena ada yang bertanya, ada baiknya saya tulis apa saja yang diperlukan untuk menjaga fungsi kamera. tetapi karena kamera & lensa saya gak banyak, tentunya alat yang saya punya tidak selengkap rekan-rekan lain yang memiliki banyak koleksi body & lensa.
Musuh utama kamera & lensa adalah debu & kelembaban. Oleh karena itu, peralatan penjaga kamera juga ditujukan untuk menghindarkan debu & kelembaban. Idealnya, kamera & lensa disimpan dalam dry-box atau dry-cabinet, apalagi jika tidak dipakai dalam waktu lama.
Di rumah ada 4 kamera dan lensanya: SLR Canon EOS 1000FN,  poket HP M407 (4MP), prosumer superzoom Konica Minolta Z20 (5MP) dan Fujifilm S6500 fd, serta DSLR Sony A200. Berhubung tidak ada dry box atau dry cabinet, kamera ini ditempatkan saja dalam lemari yang kering dan sejuk. Untuk memastikan kondisinya baik, dalam lemari tersebut ditempatkan juga termometer & higrometer. Alat ini dapat dibeli dengan harga sekitar Rp 100.000 dengan kualitas cukup baik.

Temperatur ruangan yang umumnya 20-45 derajat Celcius tidak membahayakan kamera, tetapi kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan karat yang mengganggu sirkuit elektronik dan jamur yang merusak lensa. Kelembaban yang aman ditandai dengan warna biru (40 - 80%). Supaya lebih aman, sebaiknya diletakkan juga kantong-kantong kecil berisi silica gel.

Silica gel dapat ditempatkan dalam kantong kertas atau plastik. Jika ditempatkan dalam kantong plastik, buatlah beberapa lubang dengan jarum pentul agar silica gel dapat menyerap kelembaban ruangan.silica gel yang telah digunakan akan berubah warna dari biru menjadi pucat. Lakukan penggantian jika warna silica gel sudah memudar. Silica gel ini dapat dibeli perkilo ataupun per kantong. Saya membeli silica gel kiloan dengan harga Rp 50.000 per kilo, bisa dibagi menjadi 100 kantong kecil.
Debu juga merupakan "musuh alami" kamera & lensa. Untuk mencegah debu, ada baiknya dipasang kipas elektronik kecil. atau setidaknya belilah cleaning set yang terdiri dari blower, lap lunak, tisu, cotton bud, dan cairan pembersih

Untuk pengguna DSLR, perlu diperhatikan adanya celah antara lensa dan mount di body kamera. Celah selebar 0,5 mm ini memang sengaja dibuat sebagai toleransi untuk pemasangan & mengantisipasi pemuaian. Kamera-kamera DSLR modern biasanya sudah dilengkapi dust removal. Ada baiknya menggunakan fasilitas ini sebelum kamera disimpan setelah sebuah sesi pemotretan. Untuk kondisi ekstrim, diperlukan weather seal atau body armor. Seorang teman di pekanbaru yang sering mengajak kameranya ke lokasi-lokasi ekstrim memasang seal biasa digunakan pada mesin untuk menutup celah antara body & lensa ini.

Biasanya saya ajak istri & anak-anak untuk motret apa saja, paling tidak 2 hari sekali. Tujuannya supaya kamera-kamera itu selalu mendapat perhatian. jangan sampai ada problem yang terlewat.dan terlanjur menimbulkan kerusakan berat. Batere yang habis dan didiamkan terlalu lama dalam kamera pun dapat menimbulkan karat, lho ...
 Jadi: JEPRET TERUS!!! :-)

Jumat, 01 Oktober 2010

Menonjolkan Point of Interest

Prinsip terpenting dari PoI adalah:
Sebuah foto yang bagus idealnya hanya memiliki 1 (satu) saja obyek yang berperan sebagai PoI (Point of Interest).  Jika foto memiliki beberapa elemen yang berpotensi mejadi PoI, kemas ulang foto tersebut menjadi beberapa frame.

Namun demikian, terkadang obyek yang menarik perhatian kita tidak tersampaikan dengan tepat kepada pemirsa. Berikut beberapa cara untuk menonjolkan POI dan memastikan agar pemirsa menangkap pesan yang ingin kita komunikasikan:
1.      1. Proporsi  
Proporsi obyek yang menjadi PoI sebaiknya cukup dominan dalam frame foto sehingga tidak “tenggelam” di tengah-tengah obyek lainnya.
2.        
2. 2. Komposisi
Komposisi bermankan penempat n elemen-elemen dalam frame sedemikian hingga mengarahkan perhatian pemirsa. Obyek yang menjadi PoI memiliki 2 kemungkinan penempatan:
a.       Di tengah frame – obyek yang berada di tengah frame selalu menjadi perhatian, akan tetapi penempatan ini akan menimbulkan kesan statis.
b.      Pada titik perpotongan 1/3 bagian berdasarkan prinsip
3.3.  
3.  Framing
Framing adalah penataan elemen-elemen dalam foto sedemikian hingga menuntun perhatian pemirsa pada obyek yang menjadi PoI. “Frame” ini dapat berupa cabang pepohonan, bingkai jendela, konstruksi jembatan, dsb
.
4.       4. Kontras warna
Kontras warna antara obyek yang menjadi PoI dengan elemen lain di dalam foto sudah pasti akan menarik perhatian pemirsa. Permainan kontras juga dapat memberikan “nada” atau “nuansa” dalam sebuah foto.
Pada foto-foto human interest, kontras antara PoI dengan elemen lain dapat dilakukan dengan memperhatikan background maupun dengan member pembatas. Misalnya memakai kerudung berwarna cerah pada background gelap untuk menghindari kesamaan warna dengan rambut.

5.      5. Gradasi
Teknik gradasi dapat dilakukan dengan menambahkan layer baru dengan gradasi warna di depan foto asli. Atur sedemikian rupa transparansi (opaque) layer baru ini agar tidak terlalu mencolok.
6. 
       6. DoF (Depth of Field)
Pengaturan DoF biasanya dicapai dengan mengubah aperture. Ini akan membatasi ruang tajam di dalam foto. Obyek utama yang tampil tajam di tengah-tengah elemen lain yang blur tentu akan menarik perhatian pemirsa.
7. 
       7. Cropping
Cropping berarti membuang bagian yang tidak diperlukan sehingga perhatian hanya tertuju pada PoI saja.

Contoh penonjolan PoI dengan melakukan cropping: 


Tentu beberapa teknik dapat digabungkan bersama-sama untuk memperoleh hasil maksimalsebagaimana pada contoh berikut ini:

Pada akhirnya, biarkan kreativitas ikut bermain untuk memperoleh hasil terbaik.