Rabu, 15 Desember 2010

Drybox Alternatif

Seiring dengan pertambahan peralatan memotret, mulai terasa penuhnya tas yang biasa saya bawa. Saat ini, secara keseluruhan ada 4 kamera digital (1 DSLR, 2 prosumer, 1 poket), 1 kamera SLR, 6 lensa, 2 flash, ditambah berbagai filter. Yang jelas, tidak semuanya dibawa kalau mau motret. Artinya, harus ada tempat penyimpanan untuk alat-alat yang sedang tidak digunakan.

Drybox atau dry cabinet tentunya merupakan jawaban yang paling logis untuk tempat penyimpanan ini. Tapi tahu sendiri kan, berapa harganya barang itu? Jadi sebagai alternatif, saya pergi ke Ace Hardware untuk membeli:
1 unit storage container plastic with handle
ukuran 28 cm x 40 cm x 28 cm, harga Rp 48.000
1 kitchen tray plastic
ukuran 28 cm x 22 cm x 15 cm, harga Rp 12.000


Untuk menjamin agar di dalam box tersebut tetap kering dan memantau suhunya, saya hubungi seller di sebuah bursa fotografi untuk membeli sepaket perlengkapan senilai Rp 140.000 yang berisi:
1 higrometer
1 termometer
1 kg silica gel biru

Awalnya saya bermaksud membeli silica gel elektrik yang bisa recycle, tapi barangnya tidak tersedia, jadi untuk sementara saya pikir silica gel biru cukuplah. Paket silica gel biru ini datang bersama 50 buah kantong plastik kecil, jadi setiap kantong kecil bisa diisi 20 gr. Kantong kecil yang sudah diisi silica gel harus dilubangi/ ditusuk-tusuk dengan jarum jika akan digunakan. Biasanya setiap kantong saya beri 10 lubang dan saya letakkan 2 atau 3 kantong dalam box. Silica gel harus diganti jika warna biru memudar menjadi merah atau bening.

Untuk pengujian awal, kotak saya bersihkan lalu saya letakkan termometer dan higrometer dan kotak ditutup. Setelah 15 menit, saya tengok kembali dan melihat bahwa temperatur di dalamnya adalah 28 derajat Celcius dengan kelembaban 80%. Masih belum cocok untuk menyimpan lensa-lensa.

Lalu saya letakkan 2 bungkus silica gel, kotak ditutup dan didiamkan selama 2 jam. Setelah saya tengok kembali, ternyata suhu tetap 28 derajat Celcius, tetapi kelembaban turun hingga 50%. sebagaimana tampak pada foto berikut


Sippp, jadilah lensa-lensa mulai saya tata di dalam kotak tersebut. Tray plastik ukuran 28 cm x 22 cm x 15 cm sengaja saya beli sehingga ada ruang khusus untuk menempatkan lensa secara terpisah dari peralatan lain.
Dua jam kemudian, saya cek kembali, ternyata temperatur dan kelembanban menunjukkan angka 28 derajat Celcius dan 40%. Alhamdulillah, jadi aman. Total biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang adalah Rp 200.000. Biar murah, yang penting efektif.

Yang memerlukan paket termometer, higrometer, dan silica gel, bisa klik link ini:
Hygrometer+Thermometer+Silica Gel

Minggu, 12 Desember 2010

Close Up/ Macro Photography: DSLR vs Prosumer

Beberapa rekan tertarik untuk menekuni dunia kecil yang biasa dikenal dengan close-up photography atau lebih populer dengan istilah makro, akan tetapi merasa bahwa alatnya belum mencukupi. Padahal sebetulnya untuk foto-foto close-up, tidak diperlukan peralatan yang terlalu canggih. Kamera poket pun bisa digunakan untuk foto makro, bahkan punya beberapa kaunggulan karena adanya live-view dan DoF yg lebar (baca catatan saya sebelumnya tentang Aperture di kamera DSLR, prosumer dan poket)


Jika foto obyek yang diperoleh dirasa kurang besar, bisa ditambahkan close-up filter. Ada beberapa pilihan untuk tambahan filter ini:
1. Filter high-end sejenis Raynox Supermacro Scan DCR 250 (harga Rp 900rb)
2. Filter close-up Kenko +1, +2, +4 atau sejenisnya (Rp 200-800rb, tergantung ukuran ring)
3. Membuat sendiri (harga bervariasi, tergantung kreativitas)

Pada kesempatan ini saya coba bandingkan hasil foto close-up pada sebuah obyek berukuran 5 mm x 50 mm. Pemotretan dilakukan di dalam ruangan dengan cahaya dari lampu baca ditambah dengan kertas putih sebagai reflektor. Obyek ditempatkan pada sebuah meja kecil seperti ini:

Untuk memberi gambaran ukuran obyek yang sebenarnya, silakan perhatikan foto saat pemotretan dilakukan dengan cara seperti ini:

Hasil yang diperoleh:
1. Kamera prosumer Canon SX 20 IS ditambah filter close-up buatan sendiri

2. Kamera Sony A200 + Tamron 18-200 mm + Raynox DCR 250

Kedua kamera memiliki resolusi tertinggi 10 MP. Kamera prosumer Canon SX20 IS pada dasarnya tidak berbeda dengan poket karena sama-sama menggunakan sensor 1/2.5 in. Kamera Sony A200 adalah DSLR entry level dengan sensor APS-C. Dari kedua foto di atas tampak bahwa tidak ada perbedaan signifikan selama intensitas cahaya cukup.

Filter close-up yang dipasang pada Canon SX 20 IS adalah lensa cembung yang diambil dari sebuah lensa lama dan dipasang pada ring filter 52 mm, sehingga bisa dipasang pada thread lensa kamera. Lensa untuk filter ini, bisa juga menggunakan kaca pembesar atau lup. Jadi jika dinilai harganya mungkin Rp 100rb atau kurang.

Motret makro pakai poket? Siapa takut .... :-)

Kamis, 09 Desember 2010

Pilihan Lensa Vario



Bulan lalu lensa kit Sony DT 18-70 mm yang biasa terpasang di kamera rusak gear motonya, akibatnya setiap digunakan lensa itu berbunyi "rrrrr ...." dan sering ga dapat fokus. Sewaktu dbawa ke service centre, perkiraan biaya perbaikannya adalah Rp 500.000 dengan waktu perbaikan sekitar 2 minggu, yang artinya sama dengan harga lensa kit 2nd. Akan tetapi, mengingat kasus kerusakan gear tersebut cukup sering terjadi pada lensa kit (ada resiko lensa yang baru dibeli nantinya rusak lagi), akhirnya saya memutuskan untuk membeli lensa Minolta 28-80 Macro sebagai pengganti.

Walaupun lensa pengganti ini tidak sepenuhnya "digital design", tetapi saya menyukai adanya petunjuk jarak obyek yang memudahkan kita untuk melakukan focusing secara manual. Selain itu, lensa ini juga dilengkapi dengan fitur macro pada FL 80 mm, memberi hasil yang lebih menarik daripada lensa kit pada FL 70. Namun demikian, pada mode makro focusing harus dilakukan secara manual.


Tidak berselang lama, saya mendapat tawaran lensa sapujagad, yaitu Tamron 18-200 mm Di-II LD XR Aspherical Macro. Dengan memperhitungkan crop factor 1.5x. lensa ini pada dasarnya memiliki range yang seimbang dengan lensa sapujagad Sigma 28-300 mm yang pernah saya pakai bersama kamera Canon EOS 1000 FN (analog) bertahun-tahun yang lalu. Namun demikian, setelah melakukan beberapa kali tes, saya menemukan kelebihan & kekurangan dari setiap lensa yang ada.

Lensa Tamron 18-200 memang unggul dalam range sehingga praktis untuk dibawa dalam berbagai kesempatan. Tapi lensa ini bukannya tanpa kelemahan. Beberapa hal yang saya rasakan:
1. Distorsi di bagian tepi gambar pada posisi wide end (18 mm)
2. Ketajaman yang cenderung soft pada tele-end.
3. Respon yang lebih lambat

Lambatnya respon saat pencarian fokus kelihatannya disebabkan oleh berat lensa tersebut. Oleh karena itu saya tetap mempertahankan kedua lensa Minolta yang sudah saya miliki meskipun focus range-nya sudah tercover oleh si Tammy.

Lebih lengkap mengenai Tamron 18-200mm Di II LD XR Aspherical macro, silakan klik: